Upaya keluarga almarhum Afif Maulana (13) untuk mencari keadilan atas kematian putranya yang ditemukan tewas di bawah Jembatan Kuranji, Kota Padang pada 9 Juni 2024 hingga kini masih menemui jalan terjal.

Afif tewas bertepatan dengan aparat kepolisian mengamankan aksi tawuran di daerah tersebut. Pihak keluarga beserta kuasa hukumnya menduga Afif Maulana tewas karena dianiaya pihak kepolisian.

Kemudian, pada 31 Desember 2024 Kapolda Sumatera Barat (Sumbar) Irjen Pol Suharyono mengumumkan kasus tersebut ditutup karena tidak ditemukan suatu tindak pidana.

Merespon hal itu, ayah almarhum Afif Maulana, Rinal mengatakan, tidak terima atas keputusan Polda Sumatera Barat tersebut dan tetap akan mencari keadilan.

“Kami sebagai keluarga sudah pasti tidak terima dengan keputusan tersebut, karena kapolda memutuskan hal itu hanya berdasarkan hasil eksumasi saja. Eksumasi kemarin masih banyak yang belum dijelaskan oleh dokter forensik,” tuturnya saat konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum Padang, (2/1).

Dokter Forensik Ketakutan Rinal melanjutkan, masih banyak teka-teki yang belum terjawab atas kematian putra bungsunya tersebut, seperti luka kekerasan yang terdapat di tubuh Afif.

“Dokter forensik bahkan sangat takut mengatakan anak ini meninggalnya bukan di air, bahkan malah mengatakan dengan kata misteri. Ketika ditanya luka yang ada di sebelah kanan itu tidak diterangkan,” lanjutnya.

Kemudian saksi mata yang dihadirkan keluarga juga tidak ditindaklanjuti oleh Polda Sumatera Barat.

“Kami kecewa mengapa Kapolda Sumbar mengambil keputusan secepat ini, mengapa tidak ditindaklanjuti pada bagian kekerasannya,” sebutnya.

Kuasa Hukum keluarga korban Adrizal menegaskan bahwa penghentian penyelidikan oleh Polda Sumbar mencerminkan tindakan diskriminatif dan kurangnya profesionalisme dalam penegakan hukum.

“Dalam penegakan hukum oleh kepolisian, banyak kejanggalan ditemukan. Penyidik tidak mendalami dugaan penyiksaan dan hanya berfokus pada proses tawuran,” jelasnya.

Keterangan dari tim dokter independen dari Perhimpunan Dokter Forensik dan Medikolegal Indonesia (PDFMI) menyatakan bahwa ada 19 sampel diperiksa, tetapi tidak dijelaskan secara rinci.

“Ini menunjukkan impunitas yang ditampilkan oleh Kepolisian Sumbar. Ada 18 anak yang mengalami penyiksaan di luar prosedur,” tambahnya.

CCTV Terhapus
Mengenai CCTV, sebelumnya penyidik Polresta Padang menyatakan telah mengamankan rekaman CCTV di tempat kejadian.

“Seharusnya ini menjadi petunjuk, tetapi di tengah jalan polisi menyebut CCTV terhapus,” lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa penghentian kasus Afi oleh Kapolda Sumbar bukanlah akhir dari upaya mencari keadilan bagi Afif yang diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa penyiksaan oleh kepolisian.

“Kami akan berupaya semaksimal mungkin melakukan langkah hukum dan mengumpulkan bukti agar kasus ini dapat dibuka kembali, serta kami juga akan mengajukan gugatan,” tegasnya.

Sumber Berita: https://thegazettengr.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *