Lima rumah warga di Desa Setiamekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi digusur oleh Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II pada Kamis (30/1) lalu.

Lima rumah warga di Desa Setiamekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi digusur oleh Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II pada Kamis (30/1) lalu. Selain itu puluhan bidang tanah yang terdapat bangunan ruko dan rumah di Cluster Setia Mekar Residence 2 juga dikosongkan.
Eksekusi itu berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.
Meski sudah dieksekusi namun penghuni cluster tidak terima dengan putusan pengadilan tersebut. Karena warga terpaksa harus meninggalkan rumahnya meski memiliki sertifikat hak milik (SHM).
Eksekusi 27 bidang tanah di Cluster Setia Mekar Residence 2 berawal dari transaksi jual beli terhadap tanah seluas 3,6 hektare pada 1990 silam. Saat itu, tanah tersebut tercatat bersertifikat dengan nomor 325 atas nama Juju Saribanon Doli.
Perwakilan developer sekaligus penghuni cluster, Abdul Bari menjelaskan, pada tahun itu Juju melakukan transaksi jual beli tanah dengan seseorang bernama Abdul Hamid.
Saat itu, Juju membuat akta jual beli (AJB) sebagai bukti kwitansi pembelian tanah. Meskipun baru hanya membayar uang muka, Juju langsung menyerahkan sertifikatnya ke Abdul Hamid.
Setelah sertifikat berpindah tangan, Abdul Hamid langsung berniat menjual tanah tersebut ke pihak lain. Abdul Hamid pun meminta kepada Bambang Herianto untuk menawarkan tanah seluas 3,6 hektare tersebut ke calon pembeli.
“Ditunjuklah anak buahnya bernama Bambang Herianto, dia diberikan kuasa untuk memasarkan tanah tersebut,” kata Bari, beberapa waktu lalu.
Bari mengatakan, saat itu Bambang Herianto langsung mendapatkan calon pembeli bernama Kayat. Transaksi jual beli itu pun terjadi dan sertifikat tanah atas nama Juju berpindah ke tangan Kayat.
Setelah itu, Kayat meminta Abdul Hamid untuk dipertemukan dengan Juju dengan tujuan untuk mengubah nama sertifikat dari Juju ke Kayat. Setelah mengetahui permintaan tersebut, Abdul Hamid secara tiba-tiba langsung menghilang.
Abdul Hamid juga saat itu belum melunasi sisa pembayaran pembelian tanah kepada Juju. Merasa dirugikan, Juju langsung melaporkan Abdul Hamid ke ke Polda Metro Jaya pada 1991.
“Sehingga bukti transaksi jual beli antara Juju dan Abdul Hamid, menurut Juju, dibatalkan,” ucap Bari.
Beberapa waktu kemudian, Kayat berhasil menemui Juju. Juju pun meminta Kayat menanggung sisa pembayaran Abdul Hamid yang belum dilunasi.
Kayat saat itu menerima permintaan tersebut. Setelah permintaan diterima, Juju kembali membuat AJB dan sertifikat bernomor 325 miliknya pun balik nama dari Juju menjadi atas nama Kayat dengan luas tanah 3,6 hektare.
Setelah balik nama, lanjut Bari, Kayat langsung menjual tanah tersebut. Namun, ia menjual tanah tersebut dengan memecah sertifikat bernomor 704, 705, 706, dan 707.
“Dari keempat bidang itu, diperjualbelikan lagi kepada banyak pihak. Mungkin sampai hari ini, 50 bidang dari SHM 325,” kata Bari.
Bari mengatakan, Kayat menjual dua bidang tanah dengan nomor sertifikat 704 seluas 2,4 hektare dan nomor 705 seluas 3.100 meter persegi kepada Toenggoel Paraon Siagian dan sertifkatnya telah dibalik nama menjadi milik Toenggoel.
“Sedangkan bidang tanah dengan sertifikat nomor 706 dan nomor 707 dijual secara acak oleh Kayat,” jelas Bari.
Developer Cek Tanah Tanpa Sengketa
Bari menjelaskan bahwa anak Abdul Hamid, Mimi Jamilah, mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bekasi setelah ayahnya meninggal pada 1996. Mimi menggugat dengan bermodalkan Akta Jual Beli (AJB) saat ayahnya membeli tanah dari Juju.
Ada empat pihak yang tergugat: Bambang, Kayat, Juju, dan Toenggoel. Gugatan ini berlangsung panjang hingga mencapai tingkat kasasi.
“Tahun 2002 terjadi akta perdamaian antara Mimi dengan tergugat. Setelah perdamaian itu, tidak ada lagi isu, Kayat kemudian meninggal,” kata Bari.
Kemudian, Toenggoel menjual tanah dengan sertifikat nomor 705 seluas 3.100 meter persegi kepada Bari. Sebelum membeli, Bari memastikan status tanah tersebut.
Hasilnya, Kantor ATR/BPN Kabupaten Bekasi menyatakan tanah tersebut tidak bermasalah.
Bari melanjutkan dengan mengubah nama sertifikat tanah dari Toenggoel ke namanya.
Selanjutnya, Bari membangun cluster yang didukung dengan IMB perumahan. Setelah bangunan berdiri, Bari bekerja sama dengan bank untuk memberikan fasilitas KPR.
“Kemudian balik nama kepada debiturnya, lalu pasang Hak Tanggungan (HT), HT dari bank pelat merah sebanyak 18,” ujar Bari.
Setelah rumah dan ruko di Cluster Setia Mekar Residence 2 ditempati selama bertahun-tahun, penghuni menerima surat pemberitahuan eksekusi pengosongan lahan.
Bari menyatakan bahwa penghuni cluster memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) sah dari Kantor ATR/BPN Kabupaten Bekasi. Warga dan pengembang mengaku tidak dilibatkan dalam sengketa tersebut.
“Kita tidak tahu duduk perkaranya, pertempurannya antara siapa dengan siapa, kita enggak tahu,” katanya.
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid menyebut Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II belum melakukan koordinasi ke BPN sebelum melakukan eksekusi di Cluster Setia Mekar Residence 2, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
“Kalau eksekusi menurut aturan, sebelum eksekusi, harus minta diukur dulu, di mana lokasi yang disengketakan, apakah lokasi ini bagian yang disengketakan apa tidak,” katanya saat melakukan kunjungan ke lokasi kejadian, Jumat (7/2) kemarin.
“Nah, kemudian setelah itu, kalau kemudian sudah diukur mau dieksekusi, pengadilan negeri kirim surat tembusan kepada BPN,” tambahnya.
Akibat belum adanya koordinasi sebelum eksekusi, kata Nusron, ada lima bangunan di sekitar Cluster Setia Mekar Residence 2 digusur oleh PN Cikarang hingga rata dengan tanah. Menurutnya, lima bangunan tersebut tidak masuk dalam peta yang sedang disengketakan.
“Setelah kami cek, lima lokasi tanah ini, rumah ini tadi kami cek, ternyata di luar peta daripada objek yang disengketakan,” katanya.
Saat itu, Nusron mengatakan akan berkoordinasi dengan Pengadilan Negeri Cikarang terkait eksekusi tersebut. Selain itu, BPN juga akan melakukan mediasi terhadap penggugat dengan warga yang rumahnya sudah digusur.
“Pertama, (untuk) mengganti, kami akan berusaha memperjuangkan mengganti rumah yang sudah digusur, kenapa? Karena beliau (warga) membangun dengan sah, membeli dengan sah, dan beliau nggak pernah terlibat di situ semua (sengketa),” tandasnya.
Sumber Berita : https://thegazettengr.com
Tinggalkan Balasan